Logo DDV
HOME > tulisan > Schoolunteer dan Juara Dunia

Schoolunteer dan Juara Dunia

2010. Seantero Spanyol gegap gempita. Selepas Howard Webb meniup peluit panjang, Spanyol dinisbatkan sebagai juara Piala Dunia. Negara yang di dekade 80-90-an diposisikan pesakitan sepakbola benua biru itu kini mengangkat piala kasta tertinggi sepakbola dunia. 

Dua nama dielukan sebagai pahlawan nasional, sang arsitek timnas Vincente del Bosque serta Inaki Saez. Nama kedua tidak terlalu dikenal oleh pecinta sepakbola dunia, namun bagi sebagian besar masyarakat Spanyol, dia adalah pahlawan juga. Inaki Saez adalah pelatih yang membawa Spanyol juara piala dunia U-20 tahun 1999. Melalui tangan dinginnya-lah, pemain muda Spanyol diajak bermimpi besar di ruang-ruang dunia, yang bisa jadi selama ini tidak ada di dalam benak paling gila sekalipun. Takdir juara dunia itu dituliskan jauh-jauh hari.

Saya yakin ini bukan urusan membalikkan telapak tangan. Tidak semua yang berhasil di level junior bisa berlanjut ke tingkat dewasa. Misal, jika merunut susunan pemain di tahun 1999, hanya ada dua nama yang bertahan hingga level dewasa: Iker Cassilas dan Xavi Hernandez. Tidak ada nama mentereng sang pencetak gol tunggal di final, Andreas Iniesta. Tidak ada Puyol, Pique, Sergio Ramos, David Villa, Xabi Alonso, dan lain sebagainya. Mungkin mereka masih berjuang di klub masing-masing. Saya tidak terlalu paham. 

Yang saya bisa imajinasikan, proses menjadi juara dunia memang kompleks. Pembentukan seorang pemain, baik aspek teknis hingga pembentukan karakter, lebih lanjut proses menjadikan sebuah tim unggul akan banyak faktor keberhasilan dan kegagalannya. Satu faktor dengan yang lain saling berkelindan. Fokus pada pembentukan generasi muda memang beresiko tinggi, namun memetik hasilnya juga tak kalah menyenangkan.

Optimisme itu yang saya rasakan sepekanan belakangan. Berinteraksi dengan 30-an lebih ide-ide out of the box siswa usia 14-19 tahun di forum Schoolunteer Dompet Dhuafa Volunteer membuat saya bergumam, “Indonesia masih ada harapan”. Sedikit banyak, siswa-siswa ini juga menampar ego dan skeptisisme saya kepada Generasi Z: apatis dan berjarak dengan kondisi riil lingkungannya.

Siswa kelas X membuat alat hand sanitizer menggunakan sensor otomatis karena melihat rendahnya kedisiplinan teman-temannya dalam menjaga kebersihan tangan. “Abis main langsung makan aja, gitu kak. Ga pake cuci tangan”, jelasnya. Di tempat lain, peserta Schoolunteer usia SMA tergerak untuk mensosialisasikan pentingnya kesehatan reproduksi seksual di usia remaja karena melihat tingginya angka pernikahan dini remaja perempuan di desanya. Hal ini menyebabkan tingginya angka putus sekolah usia SMP dan SMA pelajar perempuan. 

Embrio pasar ide gerakan sosial anak muda ini memang baru digagas tahun ini. Lingkupnya masih terbatas. Saya mengimani masih banyak ide-ide sosial impactful yang belum tertampung di agenda tahun ini. Lebih lanjut, mengembangkan ide-ide tersebut, sembari menjaga integritas para peserta seiring mereka beranjak dewasa juga bukan hal mudah. Kuncinya konsistensi dan kesungguhan. Seperti Spanyol yang serius mengurusi prestasi pemain juniornya, gerakan zakat juga punya potensi menyeriusi hal serupa.

Salam hangat,
Arif Rahmadi Haryono
GM Aliansi Stategis & Advokasi Dompet Dhuafa